Jumat, 12 Maret 2010

LAPORAN KDRT KE POLISI DI BALI MENINGKAT

formatnews - Denpasar, 25/2 : Laporan mengenai adanya tindak kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) di wilayah hukum Polda Bali dari tahun ke tahun terus meningkat.

"Pada 2007 laporan yang masuk ke polisi, termasuk di seluruh polres sebanyak 186 kasus. Tahun berikutnya naik menjadi 235 kasus dan pada 2009 menjadi 333 kasus," kata Kepala Subbid Bantuan Hukum pada Bagian Pembinaan Hukum Polda Bali AKBP I Nyoman Arthana di Denpasar, Kamis.

Ia berbicara pada seminar nasional mengenai KDRT yang digelar LKBH Talitha bekerja sama dengan BEM Fakultas Hukum Undiknas Denpasar yang juga menghadirkan guru besar FH Unpad Bandung Prof. Dr. Eman Suparman, S.H., M.H., psikolog Tika Bisono, dan advokat Nuryanto, S.H., M.H.

Menurut Arthana, peningkatan jumlah laporan itu bisa jadi karena memang kasus yang terjadi di masyarakat bertambah atau bisa juga karena adanya peningkatan kesadaran kaum perempuan di Bali untuk melaporkan ada kekerasan yang diterima dari keluarganya.

"Mungkin saja kesadaran ibu-ibu di Bali ini sekarang sudah mulai meningkat," kata perwira menengah itu.

Ia meyakini kasus kekerasan yang dilaporkan ke polisi masih sebagian kecil dari kasus yang terjadi di masyarakat, karena itu sosialisasi mengenai pentingnya pelaporan itu sangat penting dilakukan.

"Selain itu masih ada hambatan, yakni adanya pemahaman di masyarakat kita bahwa pelaporan itu akan berujung pada perceraian. Itu menghambat proses penegakan hukum karena ada keyakinan atau rasa malu dari kaum perempuan untuk menyandang predikat janda," ujarnya.

Hambatan lainnya adalah banyak pencabutan laporan yang dilakukan oleh kaum ibu yang mengalami tindak kekerasan. Pada 2007, dari 186 laporan yang masuk, sebanyak 25 kasus dicabut dengan alasan takut berujung pada perceraian.

"Pada 2008, dari 235 laporan yang masuk, sebanyak 22 kasus dicabut dengan alasan yang sama, sementara pada 2009, dari 333 laporan yang masuk, sebanyak 29 kasus dicabut," katanya.

Ia menyayangkan adanya pencabutan laporan tersebut, termasuk keengganan kaum perempuan untuk melapor ke polisi jika mengalami kekerasan dalam rumah tangganya, padahal pelaporan itu diyakini bisa memberikan efek jera kepada para suami yang suka melakukan kekerasan.

Sementara Tika Bisono mengemukakan upaya penghapusan terhadap kekerasan dalam rumah tangga di Bali bisa disosialisasikan lewat banjar-banjar yang di dalamnya terjalin hubungan keakraban antara satu warga dengan lainnya.

Seminar Nasional LKBH TALITHA



Denpasar (ANTARA News) - Psikolog Tika Bisono menyatakan, perempuan Indonesia cenderung bersikap mendua saat menghadapi kasus kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) yang dilakukan suaminya.

"Perempuan itu ambigu dalam menghadapi masalah ini. Ia sebetulnya tidak senang dengan perlakuan kekerasan itu, tapi di sisi lain melekat keyakinan mengenai pengabdian pada suami," katanya pada seminar nasional mengenai KDRT di Denpasar, Kamis.

Seminar yang digelar LKBH Talitha bekerja sama dengan BEM Fakultas Hukum Undiknas Denpasar itu juga menghadirkan guru besar FH Unpad Bandung Prof Dr Eman Suparman, SH, MH, Kepala Subbidang Bantuan Hukum pada Bagian Pembinaan Hukum Polda Bali AKBP I Nyoman Arthana dan advokat Nuryanto, SH, MH.

Menurut Tika, perempuan mengalami perang batin luar biasa dan sulit segera keluar dari kondisi itu, apalagi orangtua dan mertua cenderung tidak membela mereka.

"Biasanya orangtua dan mertua malah bilang, sabar. Itu karena orangtua dan mertua juga pernah mengalami hal yang sama dulunya," kata psikolog yang juga artis ini.

Ia mengemukakan, karena berbagai kendala, perempuan enggan melaporkan kasusnya ke polisi. Mereka takut disalahkan sebagai istri yang tidak sabar atau takut dianggap tidak bisa mengurus suami dan rumah tangga.

"Selain itu perempuan sering berada dalam posisi ketergantungan pada pasangannya, baik secara emosional maupun ekonomi. Perempuan itu berpikir, saya kan sudah dibelikan rumah, anak-anak sudah disekolahkan ke luar negeri," kata Tika.

Sementara dari suami pelaku KDRT, mereka cenderung bertahan dan malu melakukan terapi berkaitan dengan masalahnya itu.

"Saya heran, mengapa suami itu gengsi? Kan yang tahu masalahnya cuma istri dan terapisnya. Masalahnya, seringkali kalangan suami juga merasa `tidak sakit`," katanya.

Tika menyatakan, korban KDRT harus didampingi, didukung secara sosial dalam memahami dan menghargai dirinya, perlu didukung melatih diri bertindak positif dan menerima perlakuan positif.(*)