Senin, 26 April 2010

JUDI TOGEL SEMAKIN MARAK DI BALI

Akhir-akhir ini dimedia massa (Koran daerah Bali) banyak kasus mengenai Judi Togel. Permasalahan judi togel ini diibaratkan pasang-surut air laut. Hal ini tidak bisa terlepas dari Aspek ekonomi dimana kebutuhan hidup semakin harinya semakin besar. Aspek ekonomi juga dapat ditunjukan dengan jumlah Penduduk kurang mampu yang bermukim di daerah perkotaan tercatat 92.060 orang atau 50,7% (limapuluh koma tujuh persen) dari total orang miskin di Bali hingga akhir Maret 2009 (menurut data BPS Provinsi Bali) sebanyak 181.700 orang. Dilihat dari aspek ekonomi yang ditunjukan diatas, maka dapat di simpulkan sementara bahwa aspek ekonomi merupakan salah satu faktor yang dapat menimbulkan hal-hal yang negatif ( Perbuatan Melawan Hukum ) dalam kehidupan masyarakat Indonesia khususnya di bali. Hal ini harus menjadi cambuk bagi pemerintah daerah untuk memperbaiki perekonomian yang akan ber-imbas kepada penegakan hukum di Indonesia contoh kasus Korupsi di beberapa instansi pemerintahan, yang terjadi dikarenakan tuntutan ekonomi dan ketidakpuasan dalam hal penghasilan .
Melihat dari sudut pandang Yuridis ( Hukum ) mengenai Judi Togel, yang mana Negara Indonesia adalah Negara Hukum seperti yang tercantum dalam perubahan ke-4 UUD 1945 pasal 1 ayat 3 yang berbunyi “ Negara Indonesia adalah Negara Hukum “ dimana hal ini haruslah benar-benar ditaati dan dijunjung tinggi sebagai salah satu pedoman dalam kehidupan masyarakat. Berkaitan dengan permasalahan togel yang ada di Bali, dapat ditunjukan dalam Hukum Positif yang berlaku di Indonesia yaitu Kitab Undang Undang Hukum Pidana (KUHP) sebagaimana dimaksud:

Pasal 303 KUHP yang berbunyi :

Ayat 1 “ Diancam dengan pidana paling lama delapan bulan atau denda paling banyak enam ribu rupiah, barang siapa tanpa mendapat izin; ( berdasarkan Undang-undang No.7 Tahun 1974, jumlah pidana penjara telah diubah menjadi sepuluh tahun dan denda menjadi Rp.25.000.000 (dua puluh lima juta rupiah) “ :
Ke-1: Dengan sengaja menawarkan atau memberi kesempatan untuk permainan judi dan menjadikan sebagai pencarian, atau dengan sengaja turut serta dalam suatu perusahaan untuk itu;
Ke-2: Dengan sengaja menawarkan atau memberi kesempatan kepada khalayak umum untuk permainan judi atau dengan sengaja turut serta dalam perusahaan untuk itu, dengan tidak peduli apakah untuk menggunakan kesempatan adanya sesuatu syarat ataupun dipenuhinya sesuatu tata cara;
Ke-3: Menjadikan turut serta pada permainan judi sebagai pencarian.

Ayat 2 “ Kalau yang bersalah, melakukan kejahatan tersebut dalam menjalankan pencariannya, maka dapat dicabut haknya untuk menjalankan pencariann yaitu “Ayat 3“ Yang disebut permainan judi, adalah tiap-tiap permainan, dimana pada umumnya kemungkinan mendapat untung tergantung pada peruntungan belaka, juga karena permainannya lebih terlatih atau lebih mahir. Disitu termasuk segala pertaruhan tentang keputusan perlombaan atau permainan lain-lainnya yang tidak diadakan antara mereka yang turut berlomba atau bermain, demikian juga segala pertaruhan lainnya“

Pasal 303 bis KUHP yang berbunyi :

Ayat 1 “ Diancam dengan kurungan paling lama empat tahun atau denda paling banyak sepuluh juta rupiah;
Ke-1 “ Barangsiapa menggunakan kesempatan untuk main judi, yang diadakan, dengan melanggar ketentuan-ketentuan tersebut pasal 303;
Ke-2 “Barangsiapa ikut serta permainan judi yang diadakan di jalan umum atau dipinggirnya maupun ditempat yang dapat dimasuki oleh khalayak umum, kecuali jika untuk mengadakan itu, ada izin dari penguasa yang berwenang.
Ayat 2 “ Jika ketika melakukan pelanggaran belum lewat dua tahun sejak adanya pemidanaan yang menjadi tetap karena salah satu dari pelanggaran-pelanggaran ini, dapat dikenakan pidana penjara paling lama enam tahun atau denda paling banyak lima belas juta rupiah”.

Dari pasal yang diatur didalam Kitab Undang Undang Hukum Pidana (KUHP) yang mana pasal yang dikenakan adalah pasal 303 dan 303 bis KUHP adalah salah satu kosekuensi logis yang mana harus diterima oleh masyarakat dan ditegakkan oleh Penegak Hukum. Dalam kaitan penerapan hukum positif diatas dan juga penegakkan hukum, dalam hal pihak Penegak Hukum juga haruslah lebih intensif melakukan upaya penyuluhan berkaitan tentang Perjudian karena ada hal – hal yang perlu dipandang perlu disosialisasikan kepada masyarakat, dan selektif dalam menerapkan aturan untuk memerangi kasus-kasus Perjudian seperti ini, yang mana Pasal 303 KUHAP seharusnya dikenakan untuk pihak-pihak yang menyediakan alat, sarana, tempat dan alat untuk melakukan judi. Sementara, Pasal 303bis KUHP dikenakan kepada orang yang bermain judi. Lalu, kedua pasal ini juga memuat ancaman hukuman berbeda, Pasal 303 masuk kategori dapat ditahan, sedangkan Pasal 303bis tidak dapat ditahan (non arrested crime), tetapi hal tersebut merupakan keputusan dari Penegak Hukum yang diberikan kewenangan Subyetif dalam hal penahanan tersebut.
Permasalahan ini juga tidak terlepas dari peran pemerintah daerah yang mana seperti yang dijelaskan diatas bahwa aspek ekomoni ini juga yang menjadi seseorang mencari sesuatu dengan cara Instant (cepat) yang mana meraka tidak tahu bahwa perbuatan mereka adalah perbuatan yang bertentangan dengan hukum dan juga menjadi salah satu aspek lain adalah kurangnya pengetahuan masyarakat memahami hukum yang mana untuk hal demikian pihak pemerintah haruslah membuat terobosan mengenai hal tersebut dengan cara bersinergis dengan pelaku usaha (Perusahaan Swasta), jangan hanya pelaku usaha ini hanya berfikir tentang bagaimana mendapatkan suatu keuntungan tetapi tidak memikirkan bagaimana mencerdaskan dan memberikan pengetahuan tentang hukum yang berlaku.
Hai ini banyak kami dapatkan dari Pelaku Usaha (Perusahaan Swasta) yang lebih mementingkan kegiatan yang menurut saya adalah kegiatan Humaniora (Hura-Hura) daripada memikirkan kegiatan yang berorientasi Ceramah, Diskusi, Seminar, Lokakarya. Hal inilah harus yang menjadi pertimbangan pemerintah daerah jikalau suatu daerah ingin menciptakan masyarakat yang sadar akan HUKUM.

Penulis,
Rado Fridsel Leonardus,SH

( Advokat Magang dan Tim Lembaga Konsultasi Bantuan Hukum ( LKBH ) TALITHA )

Jumat, 12 Maret 2010

LAPORAN KDRT KE POLISI DI BALI MENINGKAT

formatnews - Denpasar, 25/2 : Laporan mengenai adanya tindak kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) di wilayah hukum Polda Bali dari tahun ke tahun terus meningkat.

"Pada 2007 laporan yang masuk ke polisi, termasuk di seluruh polres sebanyak 186 kasus. Tahun berikutnya naik menjadi 235 kasus dan pada 2009 menjadi 333 kasus," kata Kepala Subbid Bantuan Hukum pada Bagian Pembinaan Hukum Polda Bali AKBP I Nyoman Arthana di Denpasar, Kamis.

Ia berbicara pada seminar nasional mengenai KDRT yang digelar LKBH Talitha bekerja sama dengan BEM Fakultas Hukum Undiknas Denpasar yang juga menghadirkan guru besar FH Unpad Bandung Prof. Dr. Eman Suparman, S.H., M.H., psikolog Tika Bisono, dan advokat Nuryanto, S.H., M.H.

Menurut Arthana, peningkatan jumlah laporan itu bisa jadi karena memang kasus yang terjadi di masyarakat bertambah atau bisa juga karena adanya peningkatan kesadaran kaum perempuan di Bali untuk melaporkan ada kekerasan yang diterima dari keluarganya.

"Mungkin saja kesadaran ibu-ibu di Bali ini sekarang sudah mulai meningkat," kata perwira menengah itu.

Ia meyakini kasus kekerasan yang dilaporkan ke polisi masih sebagian kecil dari kasus yang terjadi di masyarakat, karena itu sosialisasi mengenai pentingnya pelaporan itu sangat penting dilakukan.

"Selain itu masih ada hambatan, yakni adanya pemahaman di masyarakat kita bahwa pelaporan itu akan berujung pada perceraian. Itu menghambat proses penegakan hukum karena ada keyakinan atau rasa malu dari kaum perempuan untuk menyandang predikat janda," ujarnya.

Hambatan lainnya adalah banyak pencabutan laporan yang dilakukan oleh kaum ibu yang mengalami tindak kekerasan. Pada 2007, dari 186 laporan yang masuk, sebanyak 25 kasus dicabut dengan alasan takut berujung pada perceraian.

"Pada 2008, dari 235 laporan yang masuk, sebanyak 22 kasus dicabut dengan alasan yang sama, sementara pada 2009, dari 333 laporan yang masuk, sebanyak 29 kasus dicabut," katanya.

Ia menyayangkan adanya pencabutan laporan tersebut, termasuk keengganan kaum perempuan untuk melapor ke polisi jika mengalami kekerasan dalam rumah tangganya, padahal pelaporan itu diyakini bisa memberikan efek jera kepada para suami yang suka melakukan kekerasan.

Sementara Tika Bisono mengemukakan upaya penghapusan terhadap kekerasan dalam rumah tangga di Bali bisa disosialisasikan lewat banjar-banjar yang di dalamnya terjalin hubungan keakraban antara satu warga dengan lainnya.

Seminar Nasional LKBH TALITHA



Denpasar (ANTARA News) - Psikolog Tika Bisono menyatakan, perempuan Indonesia cenderung bersikap mendua saat menghadapi kasus kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) yang dilakukan suaminya.

"Perempuan itu ambigu dalam menghadapi masalah ini. Ia sebetulnya tidak senang dengan perlakuan kekerasan itu, tapi di sisi lain melekat keyakinan mengenai pengabdian pada suami," katanya pada seminar nasional mengenai KDRT di Denpasar, Kamis.

Seminar yang digelar LKBH Talitha bekerja sama dengan BEM Fakultas Hukum Undiknas Denpasar itu juga menghadirkan guru besar FH Unpad Bandung Prof Dr Eman Suparman, SH, MH, Kepala Subbidang Bantuan Hukum pada Bagian Pembinaan Hukum Polda Bali AKBP I Nyoman Arthana dan advokat Nuryanto, SH, MH.

Menurut Tika, perempuan mengalami perang batin luar biasa dan sulit segera keluar dari kondisi itu, apalagi orangtua dan mertua cenderung tidak membela mereka.

"Biasanya orangtua dan mertua malah bilang, sabar. Itu karena orangtua dan mertua juga pernah mengalami hal yang sama dulunya," kata psikolog yang juga artis ini.

Ia mengemukakan, karena berbagai kendala, perempuan enggan melaporkan kasusnya ke polisi. Mereka takut disalahkan sebagai istri yang tidak sabar atau takut dianggap tidak bisa mengurus suami dan rumah tangga.

"Selain itu perempuan sering berada dalam posisi ketergantungan pada pasangannya, baik secara emosional maupun ekonomi. Perempuan itu berpikir, saya kan sudah dibelikan rumah, anak-anak sudah disekolahkan ke luar negeri," kata Tika.

Sementara dari suami pelaku KDRT, mereka cenderung bertahan dan malu melakukan terapi berkaitan dengan masalahnya itu.

"Saya heran, mengapa suami itu gengsi? Kan yang tahu masalahnya cuma istri dan terapisnya. Masalahnya, seringkali kalangan suami juga merasa `tidak sakit`," katanya.

Tika menyatakan, korban KDRT harus didampingi, didukung secara sosial dalam memahami dan menghargai dirinya, perlu didukung melatih diri bertindak positif dan menerima perlakuan positif.(*)