Senin, 26 April 2010

JUDI TOGEL SEMAKIN MARAK DI BALI

Akhir-akhir ini dimedia massa (Koran daerah Bali) banyak kasus mengenai Judi Togel. Permasalahan judi togel ini diibaratkan pasang-surut air laut. Hal ini tidak bisa terlepas dari Aspek ekonomi dimana kebutuhan hidup semakin harinya semakin besar. Aspek ekonomi juga dapat ditunjukan dengan jumlah Penduduk kurang mampu yang bermukim di daerah perkotaan tercatat 92.060 orang atau 50,7% (limapuluh koma tujuh persen) dari total orang miskin di Bali hingga akhir Maret 2009 (menurut data BPS Provinsi Bali) sebanyak 181.700 orang. Dilihat dari aspek ekonomi yang ditunjukan diatas, maka dapat di simpulkan sementara bahwa aspek ekonomi merupakan salah satu faktor yang dapat menimbulkan hal-hal yang negatif ( Perbuatan Melawan Hukum ) dalam kehidupan masyarakat Indonesia khususnya di bali. Hal ini harus menjadi cambuk bagi pemerintah daerah untuk memperbaiki perekonomian yang akan ber-imbas kepada penegakan hukum di Indonesia contoh kasus Korupsi di beberapa instansi pemerintahan, yang terjadi dikarenakan tuntutan ekonomi dan ketidakpuasan dalam hal penghasilan .
Melihat dari sudut pandang Yuridis ( Hukum ) mengenai Judi Togel, yang mana Negara Indonesia adalah Negara Hukum seperti yang tercantum dalam perubahan ke-4 UUD 1945 pasal 1 ayat 3 yang berbunyi “ Negara Indonesia adalah Negara Hukum “ dimana hal ini haruslah benar-benar ditaati dan dijunjung tinggi sebagai salah satu pedoman dalam kehidupan masyarakat. Berkaitan dengan permasalahan togel yang ada di Bali, dapat ditunjukan dalam Hukum Positif yang berlaku di Indonesia yaitu Kitab Undang Undang Hukum Pidana (KUHP) sebagaimana dimaksud:

Pasal 303 KUHP yang berbunyi :

Ayat 1 “ Diancam dengan pidana paling lama delapan bulan atau denda paling banyak enam ribu rupiah, barang siapa tanpa mendapat izin; ( berdasarkan Undang-undang No.7 Tahun 1974, jumlah pidana penjara telah diubah menjadi sepuluh tahun dan denda menjadi Rp.25.000.000 (dua puluh lima juta rupiah) “ :
Ke-1: Dengan sengaja menawarkan atau memberi kesempatan untuk permainan judi dan menjadikan sebagai pencarian, atau dengan sengaja turut serta dalam suatu perusahaan untuk itu;
Ke-2: Dengan sengaja menawarkan atau memberi kesempatan kepada khalayak umum untuk permainan judi atau dengan sengaja turut serta dalam perusahaan untuk itu, dengan tidak peduli apakah untuk menggunakan kesempatan adanya sesuatu syarat ataupun dipenuhinya sesuatu tata cara;
Ke-3: Menjadikan turut serta pada permainan judi sebagai pencarian.

Ayat 2 “ Kalau yang bersalah, melakukan kejahatan tersebut dalam menjalankan pencariannya, maka dapat dicabut haknya untuk menjalankan pencariann yaitu “Ayat 3“ Yang disebut permainan judi, adalah tiap-tiap permainan, dimana pada umumnya kemungkinan mendapat untung tergantung pada peruntungan belaka, juga karena permainannya lebih terlatih atau lebih mahir. Disitu termasuk segala pertaruhan tentang keputusan perlombaan atau permainan lain-lainnya yang tidak diadakan antara mereka yang turut berlomba atau bermain, demikian juga segala pertaruhan lainnya“

Pasal 303 bis KUHP yang berbunyi :

Ayat 1 “ Diancam dengan kurungan paling lama empat tahun atau denda paling banyak sepuluh juta rupiah;
Ke-1 “ Barangsiapa menggunakan kesempatan untuk main judi, yang diadakan, dengan melanggar ketentuan-ketentuan tersebut pasal 303;
Ke-2 “Barangsiapa ikut serta permainan judi yang diadakan di jalan umum atau dipinggirnya maupun ditempat yang dapat dimasuki oleh khalayak umum, kecuali jika untuk mengadakan itu, ada izin dari penguasa yang berwenang.
Ayat 2 “ Jika ketika melakukan pelanggaran belum lewat dua tahun sejak adanya pemidanaan yang menjadi tetap karena salah satu dari pelanggaran-pelanggaran ini, dapat dikenakan pidana penjara paling lama enam tahun atau denda paling banyak lima belas juta rupiah”.

Dari pasal yang diatur didalam Kitab Undang Undang Hukum Pidana (KUHP) yang mana pasal yang dikenakan adalah pasal 303 dan 303 bis KUHP adalah salah satu kosekuensi logis yang mana harus diterima oleh masyarakat dan ditegakkan oleh Penegak Hukum. Dalam kaitan penerapan hukum positif diatas dan juga penegakkan hukum, dalam hal pihak Penegak Hukum juga haruslah lebih intensif melakukan upaya penyuluhan berkaitan tentang Perjudian karena ada hal – hal yang perlu dipandang perlu disosialisasikan kepada masyarakat, dan selektif dalam menerapkan aturan untuk memerangi kasus-kasus Perjudian seperti ini, yang mana Pasal 303 KUHAP seharusnya dikenakan untuk pihak-pihak yang menyediakan alat, sarana, tempat dan alat untuk melakukan judi. Sementara, Pasal 303bis KUHP dikenakan kepada orang yang bermain judi. Lalu, kedua pasal ini juga memuat ancaman hukuman berbeda, Pasal 303 masuk kategori dapat ditahan, sedangkan Pasal 303bis tidak dapat ditahan (non arrested crime), tetapi hal tersebut merupakan keputusan dari Penegak Hukum yang diberikan kewenangan Subyetif dalam hal penahanan tersebut.
Permasalahan ini juga tidak terlepas dari peran pemerintah daerah yang mana seperti yang dijelaskan diatas bahwa aspek ekomoni ini juga yang menjadi seseorang mencari sesuatu dengan cara Instant (cepat) yang mana meraka tidak tahu bahwa perbuatan mereka adalah perbuatan yang bertentangan dengan hukum dan juga menjadi salah satu aspek lain adalah kurangnya pengetahuan masyarakat memahami hukum yang mana untuk hal demikian pihak pemerintah haruslah membuat terobosan mengenai hal tersebut dengan cara bersinergis dengan pelaku usaha (Perusahaan Swasta), jangan hanya pelaku usaha ini hanya berfikir tentang bagaimana mendapatkan suatu keuntungan tetapi tidak memikirkan bagaimana mencerdaskan dan memberikan pengetahuan tentang hukum yang berlaku.
Hai ini banyak kami dapatkan dari Pelaku Usaha (Perusahaan Swasta) yang lebih mementingkan kegiatan yang menurut saya adalah kegiatan Humaniora (Hura-Hura) daripada memikirkan kegiatan yang berorientasi Ceramah, Diskusi, Seminar, Lokakarya. Hal inilah harus yang menjadi pertimbangan pemerintah daerah jikalau suatu daerah ingin menciptakan masyarakat yang sadar akan HUKUM.

Penulis,
Rado Fridsel Leonardus,SH

( Advokat Magang dan Tim Lembaga Konsultasi Bantuan Hukum ( LKBH ) TALITHA )

Jumat, 12 Maret 2010

LAPORAN KDRT KE POLISI DI BALI MENINGKAT

formatnews - Denpasar, 25/2 : Laporan mengenai adanya tindak kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) di wilayah hukum Polda Bali dari tahun ke tahun terus meningkat.

"Pada 2007 laporan yang masuk ke polisi, termasuk di seluruh polres sebanyak 186 kasus. Tahun berikutnya naik menjadi 235 kasus dan pada 2009 menjadi 333 kasus," kata Kepala Subbid Bantuan Hukum pada Bagian Pembinaan Hukum Polda Bali AKBP I Nyoman Arthana di Denpasar, Kamis.

Ia berbicara pada seminar nasional mengenai KDRT yang digelar LKBH Talitha bekerja sama dengan BEM Fakultas Hukum Undiknas Denpasar yang juga menghadirkan guru besar FH Unpad Bandung Prof. Dr. Eman Suparman, S.H., M.H., psikolog Tika Bisono, dan advokat Nuryanto, S.H., M.H.

Menurut Arthana, peningkatan jumlah laporan itu bisa jadi karena memang kasus yang terjadi di masyarakat bertambah atau bisa juga karena adanya peningkatan kesadaran kaum perempuan di Bali untuk melaporkan ada kekerasan yang diterima dari keluarganya.

"Mungkin saja kesadaran ibu-ibu di Bali ini sekarang sudah mulai meningkat," kata perwira menengah itu.

Ia meyakini kasus kekerasan yang dilaporkan ke polisi masih sebagian kecil dari kasus yang terjadi di masyarakat, karena itu sosialisasi mengenai pentingnya pelaporan itu sangat penting dilakukan.

"Selain itu masih ada hambatan, yakni adanya pemahaman di masyarakat kita bahwa pelaporan itu akan berujung pada perceraian. Itu menghambat proses penegakan hukum karena ada keyakinan atau rasa malu dari kaum perempuan untuk menyandang predikat janda," ujarnya.

Hambatan lainnya adalah banyak pencabutan laporan yang dilakukan oleh kaum ibu yang mengalami tindak kekerasan. Pada 2007, dari 186 laporan yang masuk, sebanyak 25 kasus dicabut dengan alasan takut berujung pada perceraian.

"Pada 2008, dari 235 laporan yang masuk, sebanyak 22 kasus dicabut dengan alasan yang sama, sementara pada 2009, dari 333 laporan yang masuk, sebanyak 29 kasus dicabut," katanya.

Ia menyayangkan adanya pencabutan laporan tersebut, termasuk keengganan kaum perempuan untuk melapor ke polisi jika mengalami kekerasan dalam rumah tangganya, padahal pelaporan itu diyakini bisa memberikan efek jera kepada para suami yang suka melakukan kekerasan.

Sementara Tika Bisono mengemukakan upaya penghapusan terhadap kekerasan dalam rumah tangga di Bali bisa disosialisasikan lewat banjar-banjar yang di dalamnya terjalin hubungan keakraban antara satu warga dengan lainnya.

Seminar Nasional LKBH TALITHA



Denpasar (ANTARA News) - Psikolog Tika Bisono menyatakan, perempuan Indonesia cenderung bersikap mendua saat menghadapi kasus kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) yang dilakukan suaminya.

"Perempuan itu ambigu dalam menghadapi masalah ini. Ia sebetulnya tidak senang dengan perlakuan kekerasan itu, tapi di sisi lain melekat keyakinan mengenai pengabdian pada suami," katanya pada seminar nasional mengenai KDRT di Denpasar, Kamis.

Seminar yang digelar LKBH Talitha bekerja sama dengan BEM Fakultas Hukum Undiknas Denpasar itu juga menghadirkan guru besar FH Unpad Bandung Prof Dr Eman Suparman, SH, MH, Kepala Subbidang Bantuan Hukum pada Bagian Pembinaan Hukum Polda Bali AKBP I Nyoman Arthana dan advokat Nuryanto, SH, MH.

Menurut Tika, perempuan mengalami perang batin luar biasa dan sulit segera keluar dari kondisi itu, apalagi orangtua dan mertua cenderung tidak membela mereka.

"Biasanya orangtua dan mertua malah bilang, sabar. Itu karena orangtua dan mertua juga pernah mengalami hal yang sama dulunya," kata psikolog yang juga artis ini.

Ia mengemukakan, karena berbagai kendala, perempuan enggan melaporkan kasusnya ke polisi. Mereka takut disalahkan sebagai istri yang tidak sabar atau takut dianggap tidak bisa mengurus suami dan rumah tangga.

"Selain itu perempuan sering berada dalam posisi ketergantungan pada pasangannya, baik secara emosional maupun ekonomi. Perempuan itu berpikir, saya kan sudah dibelikan rumah, anak-anak sudah disekolahkan ke luar negeri," kata Tika.

Sementara dari suami pelaku KDRT, mereka cenderung bertahan dan malu melakukan terapi berkaitan dengan masalahnya itu.

"Saya heran, mengapa suami itu gengsi? Kan yang tahu masalahnya cuma istri dan terapisnya. Masalahnya, seringkali kalangan suami juga merasa `tidak sakit`," katanya.

Tika menyatakan, korban KDRT harus didampingi, didukung secara sosial dalam memahami dan menghargai dirinya, perlu didukung melatih diri bertindak positif dan menerima perlakuan positif.(*)

Jumat, 27 November 2009

SELAMAT DAN SUKSES DALAM MENJALANKAN AKTIVITAS BARU MENJADI CALON ADVOKAT

Sebulan telah berlalu dan pada tanggal 25 November 2009 telah di umumkan hasil UPA 2009 PERADI yang mana diadakan di 16 kota pada tanggal 17 oktober 2009 dan 31 oktober 2009 di kota padang hasilnya sangatlah memuaskan bagi kami punggawa dari Lembaga Konsultasi Bantuan Hukum TALITHA yang mengikuti UPA 2009 PERADI di kota Denpasar yang mana hasilnya meluluskan 59 orang, dari kesemuanya adalah :

1. Riyan Fardian,ST,SH

2. Astry Susan Fitriasari,SH

3. Rado Fridsel Leonardus,SH

4. Indah Eliza,SH

Adapun Tips-tips mengikuti UPA  PERADI adalah sebagai berikut :

1. Banyak-banyak menjawab contoh-contoh soal UPA tahun sebelumnya

2. Diskusi dengan orang-orang yang sudah berkecimpung sebagai Advokat dan instansi Penengak Hukum lainnya.

3. Dalam mengerjakan ujian fokuslah dan Percaya diri, bahwa kamu harus bisa

4. Jangan Lupa Berdoa kepada Tuhan YME.

semoga sukses bagi kalian semua

Rabu, 22 Juli 2009

KODE ETIK PROFESI KEPOLISIAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

PEMBUKAAN

Keberhasilan pelaksanaan tugas Kepolisian Negara Republik Indonesia dalam memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat, menegakkan hukum, dan melindungi, mengayomi serta melayani masyarakat, selain ditentukan oleh kualitas pengetahuan dan keterampilan teknis kepolisian yang tinggi sangat ditentukan oleh perilaku terpuji setiap anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia di tengah masyarakat.
Guna mewujudkan sifat kepribadian tersebut, setiap anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya senantiasa terpanggil untuk menghayati dan menjiwai etika profesi kepolisian yang tercermin pada sikap dan perilakunya, sehingga terhindar dari perbuatan tercela dan penyalahgunaan wewenang.
Etika profesi kepolisian merupakan kristalisasi nilai-nilai Tribrata yang dilandasi dan dijiwai oleh Pancasila serta mencerminkan jati diri setiap anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia dalam wujud komitmen moral yang meliputi pada pengabdian, kelembagaan dan keNegaraan, selanjutnya disusun kedalam Kode Etik Profesi Kepolsiian Negara Republik Indonesia.
Etika pengabdian merupakan komitmen moral setiap anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia terhadap profesinya sebagai pemelihara keamanan dan ketertiban masyarakat, penegak hukum serta pelindung, pengayom dan pelayan masyarakat.
Etika kelembagaan merupakan komitmen moral setiap anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia terhadap institusinya yang menjadi wadah pengabdian yang patut dijunjung tinggi sebagai ikatan lahir batin dari semua insan Bhayangkara dan segala martabat dan kehormatannya.
Etika keNegaraan merupakan komitmen moral setiap anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia dan institusinya untuk senantiasa bersikap netral, mandiri dan tidak terpengaruh oleh kepentingan politik, golongan dalam rangka menjaga tegaknya hukum Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Kode Etik Profesi Kepolisian Negara Republik Indonesia mengikat secara moral, sikap dan perilaku setiap anggota Polri.
Pelanggaran terhadap Kode Etik Profesi Kepolisian Negara Republik Indonesia harus dipertanggung-jawabkan di hadapan Sidang Komisi Kode Etik Profesi Kepolsiian Negara Republik Indonesia guna pemuliaan profesi kepolisian.
Kode Etik Profesi Kepolisian Negara Republik Indonesia dapat berlaku juga pada semua organisasi yang menjalankan fungsi Kepolisian di Indonesia.

BAB I
ETIKA PENGABDIAN
Pasal 1
Anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia senantiasa bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa dengan menunjukkan sikap pengabdiannya berperilaku :
a. Menjunjung tinggi sumpah sebagai anggota Polri dari dalam hati nuraninya kepada Tuhan Yang Maha Esa;
b. Menjalankan tugas keNegaraan dan kemasyarakatan dengan niat murni karea kehendak Yang Maha Kuasa sebagai wujud nyata amal ibadahnya;
c. Menghormati acara keagamaan dan bentuk-bentuk ibadah yang diselenggarakan masyarakat dengan menjaga keamanan dan kekhidmatan pelaksanaannya.

Pasal 2
Anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia berbakti kepada nusa dan bangsa sebagai wujud pengabdian tertinggi dengan :
a. Mendahulukan kehormatan bangsa Indonesia dalam kehidupannya;
b. Menjunjung tinggi lambang-lambang kehormatan bangsa Indonesia;
c. Menampilkan jati diri bangsa Indonesia yang terpuji dalam semua keadaan dan seluruh waktu;
d. Rela berkorban jiwa dan raga untuk bangsa Indonesia.

Pasal 3
Anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia dalam melaksanakan tugas memlihara keamanan dan ketertiban umum selalu menunjukkan sikap perilaku dengan :
a. Meletakkan kepentingan Negara, bangsa, masyarakat dan kemanusiaan diatas kepentingan pribadinya;
b. Tidak menuntut perlakuan yang lebih tinggi dibandingkan degan perlakuan terhadap semua warga Negara dan masyarakat;
c. Menjaga keselamatan fasilitas umum dan hak milik perorangan serta menjauhkan sekuat tenaga dari kerusakan dan penurunan nilai guna atas tindakan yang diambil dalam pelaksanaan tugas.

Pasal 4
Anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia dalam melaksanakan tugas menegakan hukum wajib memelihara perilaku terpercaya dengan :
a. Menyatakan yang benar adalah benar dan yang salah adalah salah;
b. Tidak memihak;
c. Tidak melakukan pertemuan di luar ruang pemeriksaan dengan pihak-pihak yang terkait dengan perkara;
d. Tidak mempublikasikan nama terang tersangka dan saksi;
e. Tidak mempublikasikan tatacara, taktik dan teknik penyidikan;
f. Tidak menimbulkan penderitaan akibat penyalahgunaan wewenang dan sengaja menimbulkan rasa kecemasan, kebimbangan dan ketergantungan pada pihak-pihak yang terkait dengan perkara;
g. Menunjukkan penghargaan terhadap semua benda-benda yang berada dalam penguasaannya karena terkait dengan penyelesaian perkara;
h. Menunjukkan penghargaan dan kerja sama dengan sesama pejabat Negara dalam sistem peradilan pidana;
i. Dengan sikap ikhlas dan ramah menjawab pertanyaan tentang perkembangan penanganan perkara yang ditanganinya kepada semua pihak yang terkait dengan perkara pidana yang dimaksud, sehingga diperoleh kejelasan tentang penyelesaiannya.

Pasal 5
Anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat senantiasa :
a. Memberikan pelayanan terbaik;
b. Menyelamatkan jiwa seseorang pada kesempatan pertama;
c. Mengutamakan kemuahan dan tidak mempersulit;
d. Bersikap hormat kepada siapapun dan tidak menunjukkan sikap congkak/arogan karena kekuasaan;
e. Tidak membeda-bedakan cara pelayanan kepada semua orang;
f. Tidak mengenal waktu istirahat selama 24 jam, atau tidak mengenal hari libur;
g. Tidak membebani biaya, kecuali diatur dalam peraturan perundang-undangan;
h. Tidak boleh menolak permintaan pertolongan bantuan dari masyarakat dengan alasan bukan wilayah hukumnya atau karena kekurangan alat dan orang;
i. Tidak mengeluarkan kata-kata atau melakukan gerakan-gerakan anggota tubuhnya yang mengisyaratkan meminta imbalan atas batuan Polisi yang telah diberikan kepada masyarakat.
Pasal 6
(1) Anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia dalam menggunakan kewenangannya senantiasa berdasarkan pada Norma hukum dan mengindahkan norma agama, kesopanan, kesusilaan dan nilai-nilai kemanusiaan.
(2) Anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia senantiasa memegang teguh rahasia sesuatu yang menurut sifatnya atau menurut perintah kedinasan perlu dirahasiakan.
Pasal 7
Anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia senantiasa menghindarkan diri dari perbuatan tercela yang dapat merusak kehormatan profesi dan organisasinya, dengan tidak melakukan tindakan-tindakan berupa :
a. Bertutur kata kasar dan bernada kemarahan;
b. Menyalahi dan atau menyimpang dari prosedur tugas;
c. Bersikap mencari-cari kesalahan masyarakat;
d. Mempersulit masyarakat yang membutuhkan bantuan/pertolongan;
e. Menyebarkan berita yang dapat meresahkan masyarakat;
f. Melakukan perbuatan yang dirasakan merendahkan martabat perempuan;
g. Melakukan tindakan yang dirasakan sebagai perbuatan menelantarkan anak-anak dibawah umum;
h. Merendahkan harkat dan martabat manusia.

BAB II
ETIKA KELEMBAGAAN
Pasal 8
Setiap anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia menjunjung tinggi institusinya dengan menempatkan kepentingan organisasi diatas kepentingan pribadi.


Pasal 9
(1) Setiap anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia memegang teguh garis komando, mematuhi jenjang kewenangan, dan bertindak disiplin berdasarkan aturan dan tata cara yang berlaku.
(2) Setiap atasan tidak dibenarkan memberikan perintah yang bertentangan dengan norma hukum yang berlaku dan wajib bertanggung jawab atas pelaksanaan perintah yang diberikan kepada anggota bawahannya.
(3) Setiap anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia dibenarkan menolak perintah atasan yang melanggar norma hukum dan untuk itu anggota tersebut mendapatkan perlinungan hukum.
(4) Setiap anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia dalam melaksanakan perintah kedinasan tidak dibenarkan melampaui batas kewenangannya dan wajib menyampaikan pertanggungjawaban tugasnya kepada atasan langsunnya.
(5) Setiap anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya tidak boleh terpengaruh oleh istri, anak dan orang-orang lain yang masih terkait hubungan keluarga atau pihak lain yang tidak ada hubungannya dengan kedinasan.

Pasal 10
(1) Setiap anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia menampilkan sikap kepemimpinan melalui keteladanan, keadilan, ketulusan dan kewibawaan serta melaksanakan keputusan pimpinan yang dibangun melalui tata cara yang berlaku guna tercapainya tujuan organisasi.
(2) Dalam proses pengambilan keputusan boleh berbeda pendapat sebelum diputuskan pimpinan dan setelah diputuskan semua anggota harus tundak pada keputusan tersebut.
(3) Keputusan pimpinan diambil setelah mendengar semua pendapat dari unsur-unsur yang terkait, bawahan dan teman sejawat sederajat, kecuali dalam situasi yang mendesak.
Pasal 11
Setiap anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia senantiasa menjaga kehormatan melalui penampilan seragam dan atau atribut, tanda, pangkat jabatan dan tanda kewenangan Polri sebagai lambang kewibawaan hukum, yang mencerminkan tanggung jawab serta kewajibannya kepada institusi dan masyarakat.


Pasal 12
Setiap anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia senantiasa menampilkan rasa setiakawan dengan sesama anggota sebagai ikatan batin yang tulus atas dasar kesadaran bersama akan tanggug jawabnya sebagai salah satu ... keutuhan bangsa Indonesia, dengan menjunjung tinggi prinsip-prinsip kehormatan sebagai berikut :
a. Menyadari sepenuhnya sebagi perbuatan tercela apabila meninggalkan kawan yang terluka atau meninggal dunia dalam tugas sedangkan keadaan memungkinkan untuk memberi pertolongan;
b. Merupakan ketelaanan bagi seorang atasan untuk membantu kesulitan bawahannya;
c. Merupakan kewajiban moral bagi seorang bawahan untuk menunjukkan rasa hormat dengan tulus kepada atasannya;
d. Menyadari sepenuhnya bahwa seorang atasan akan lebih terhormat apabila menunjukkan sikap menghargai yang sepada kepada bawahannya;
e. Merupakan sikap terhomat bagi anggota Polri baik yang masih dalam dinas aktif maupun purnawirawan untuk menghadiri pemaaman jenazah anggota Polri lainnya yang meninggal karena gugur dalam tugas ataupun meninggal karena sebab apapun, dimana kehadiran dalam pemakaman tersebut dengan menggunakan atribut kehormatan dan tataran penghormatan yang setinggi-tingginya;
f. Selalu terpanggil untuk memberikan bantuan kepada anggota Polri dan purnawirawan Polri yang menghadapi suatu kesulitan dimana dia berada saat itu, serta bantuan dan perhatian yang sama sedapat mungkin juga diberikan kepada keluarga anggota Polri yang mengalami kesulitan serupa dengan memperhatikan batas kemampuan yang dimilikinya;
g. Merupakan sikap terhormat apabila mampu menahan diri untuk tidak menyampaikan dan menyebarkan rahasia pribadi, kejelekan teman atau keadaan didalam lingkungan Polri kepada orang lain yang bukan anggota Polri.

BAB III
ETIKA KENEGARAAN
Pasal 13
Setiap anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia siap sedia menjaga keutuhan wilayah hukum Negara Kesatuan Republik Indonesia yang berdasaran Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945, memelihara persatuan dan kesatuan kebhinekaan bangsa dan menjunjung tinggi kedaulatan rakyat.

Pasal 14
Setiap anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia menjaga jarak yang sama dalam kehidupan politik dan tidak melibatkan diri pada kegiatan politik taktis, serta tidak dipengaruhi oleh kepentingan politik golongan tertentu.

Pasal 15
Setiap anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia senantiasa berpegang teguh pada konstitusi dalam menyikapi perkembangan situasi yang membahayakan keselamatan bangsa dan Negara.

Pasal 16
Setiap anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia menjaga keamanan Presiden Republik Indonesia dan menghormati serta menjalankan segala kebijakannya sesuai dengan jiwa konstitusi maupun hukum yang berlaku demi keselamatan Negara dan keutuhan bangsa.

BAB IV
PENEGAKAN KODE ETIK PROFESI
Pasal 17
Setiap pelanggaran terhadap Kode Etik Profesi Kepolisian Negara Republik Indonesia dikenakan sanksi moral, berupa :
a. Perilaku pelanggar dinyatakan sebagai perbuatan tercela;
b. Kewajiban pelanggar untuk menyatakan penyesalan atau meminta maaf secara terbatas ataupun secara terbuka;
c. Kewajiban pelanggar untuk mengikuti pembinaan ulang profesi;
d. Pelanggar dinyatakan tidak layak lagi untuk menjalankan profesi Kepolisian.

Pasal 18
Pemeriksaan atas pelanggaran Kode Etik Profesi Kepolisian Negara Republik Indonesia dilakukan oleh Komisi Kode Etik Kepolisian Negara Republik Indonesia.


Pasal 19
Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam pasal 17 dan 18, diatur lebih lanjut dengan Tata Cara Sidang Komisi Kode Etik Kepolisian Negara Republik Indonesia.

BAB V
PENUTUP
Pasal 20
Merupakan kehormatan yang tertinggi bagi setiap anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia untuk menghayati, menaati dan mengamalkan Kode Etik Profesi Kepolisian Negara Republik Indonesia dalam pelaksanaan tugas dan wewenangnya maupun dalam kehidupan sehari-hari demi pengabdian kepada masyarakat, bangsa dan Negara.

Ditetapkan di : Jakarta
Pada tanggal : Juli 2003
KEPALA KEPOLISIAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

Drs. DA'I BACHTIAR, SH
JENDERAL POLISI














PENJELASAN
TENTANG
KODE ETIK PROFESI KEPOLISIAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

I. UMUM.
Pembinaan kemampuan profesi anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia dalam mengemban tugas pokoknya sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 2 tahun 2002 dilaksanakan melalui pembinaan etika profesi dan pengembangan pengetahuan serta pengalaman penugasan secara berjenjang, berlanjut dan terpadu.
Selanjutnya setiap anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia menurut Undang-Undang Nomor 2 tahun 2002 diwajibkan untuk menghayati dan menjiwai etika profesi Kepolisian yang tercermin dalam sikap dan perilakunya dalam kedinasan maupun kehidupannya sehari-hari.
Etika profesi Kepolisian memuat 3 (tiga) substansi etika yaitu Etika Pengabdian, Kelembagaan dan KeNegaraan yang dirumuskan dan disepakati oleh seluruh anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia sehingga menjadi kesepakatan bersama sebagai Kode Etik Profesi Kepolisian Negara Republik Indonesia yang memuat komitmen moral setiap anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia sebagai kristalisasi nilai-nilai dasar yang terkandung dalam Tribrata dan dilandasi oleh nilai-nilai luhur Pancasila.
Kode Etik Profesi Kepolisian Negara Republik Indonesia merupakan pedoman perilaku dan sekaligus pedoman moral bagi anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia, sebagai upaya pemuliaan trhadap profesi kepolisian, yang berfungsi sebagai pembimbing pengabdian, sekaligus menjadi pengawas hati nurani setiap anggota agar terhindar dari perbuatan tercela dan penyalahgunaan wewenang.
Kode Etik Profesi Kepolisian Negara Republi Indonesia untuk petama kali ditetapkan oleh Kapolri dengan Surat Keputusan Kapolri No. Pol : Skep/213/VII/1985 tanggal 1 Juli 1985 yang selanjutnya naskah dimaksud terkenal dengan Naskah Ikrar Kode Etik Kepolisian Negara Republik Indonesia beserta pedoman pengalamannya.
Dengan berlakunya Undang-Undang Nomor 28 tahun 1997 dimana pada pasal 23 mempersyaratkan adanya Kode Etik Profesi Kepolisian Negara Republik Indonesia, maka pada tanggal 7 Maret 2001 diterbitkan buku Kode Etik Profesi Kepolisian Negara Republik Indonesia dengan Keputusan Kapolri No. Pol : Kep/05/III/2001 serta buku Petunjuk Administrasi Komisi Kode Etik Profesi Kepolisian Negara Republik Indonesia dengan Keputusan KaPolri No. Pol : Kep/04/III/2001 tanggal 7 Maret 2001.
Perkembangan selanjutnya berdasarkan Ketetapan MPR-RI Nomor : VI/MPR/2000 tentang Pemisahan Tentara Nasional Indonesia dan Kepolisian Negara Republik Indonesia, Ketetapan MPR-RI Nomor VII/MPR/2000 tentang peran Tentara Nasional Indonesia dan peran Kepolisian Negara Republik Indonesia sebagaimana tersebut dalam pasal 31 sampai dengan pasal 35, maka diperlukan perumusan kembali Kode Etik Profesi Kepolisian Negara Republik Indonesia yang lebih konkrit agar pelaksanaan tugas Kepolisian lebih terarah dan sesuai dengan harapan masyarakat yang mendambakan terciptanya supremasi hukum dan terwujudnya rasa keadilan.
Selanjutnya perumusan Kode Etik Profesi Kepolisian Negara Republik Indonesia memuat norma perilaku dan moral yang disepakati bersama serta dijadikan pedoman dalam melaksanakan tugas dan wewenang bagi anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia sehingga dapat menjadi pendorong semangat dan rambu-rambu nurani setiap anggota untuk pemuliaan profesi Kepolisian guna meningkatkan pelayanan kepada masyarakat.
Kepolisian Negara Republik Indonesia merupakan organisasi pembina profesi Kepolisian yang berwenang membentuk Komisi Kode Etik Kepolisian Negara Republik Indonesia di semua tingkat organisasi, selanjutnya berfungsi untuk menilai dan memeriksa pelanggaran yang dilakukan oleh anggota terhadap ketentuan Kode Etik Profesi Kepolisian Negara Republik Indonesia.

II. BAB DAN PASAL-PASALNYA.
1. Setiap Kode Etik Profesi pada umumnya memuat materi pokok yaitu nilai-nilai/ide yang bersifat mendasar (Statement of ideas) dan prinsip-prinsip pelaksanaan tugas sehari-hari (Statement of guidelines/principles in the simply duties). Oleh karena itu pada naskah Kode Etik Profesi Kepolisian Negara Republik Indonesia memuat ; Bab I berisi nilai-nilai dasar tentang jatidiri anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia yang menggambarkan nilai-nilai pengabdian sebagaimana terumus dalam filosofi Tribrata, berisi norma moral dalam etika kedinasan yang menggambarkan tingkat profesionalisme anggota, Bab II berisi komitmen moral setiap individu anggota dan institusinya yang berhubungan dengna institusi lainnya dalam kehidupan bernegara, dan Bab IV berisi ketentuan penegakan Kode Etik Profesi Polri yang mengatur ketentuan sanksi moral dan Tata Cara Sidang Komisi.

2. Penjelasan pasal demi pasal :
BAB I. ETIKA PENGABDIAN

Pasal 1.
Sikap moral pengabdian pengemban profesi kepolisian pertama-tama didasarkan pada panggilan ibadah sebagai umat beragama melalui perbuatan nyata berupa menjaga keselamatan sesama manusia, menjunjung tinggi martabat manusia dengna segala kompleksitasnya, menjauhkan dari rasa khawatir dan ketakutan dalam kehidupan sehari-hari serta memelihara segenap aturan bagi terselenggranya sendi kehidupan manusia.
Amal perbuatan tersebut keluar dari dalam hati nuraninya dan bertanggung jawab kepada Tuhan Yang Maha Esa melalui sumpahnya dihadapan Tuhan Yang Maha Esa.
Buah amal perbuatan tersebut akan dirasakan oleh semua masyarakat yang berbeda-beda agama dalam norma kehidupannya.
Pasal 2.
Selaku anak bangsa setiap pengemban profesi kepolisian terpanggil dari dalam hati nuraninya untuk tetap meluhurkan Indonesia bersama segenap komponen bangsa Indonesia di tengah pergaulan antar bangsa di dunia.
Bangsa Indonesia ibarat sebuah bahtera dengan mengarungi samudera akan mengalami berbagai tantangan perjuangan dan perubahan berbagai keadaan.
Namun setiap pengemban profesi kepolisian tetap menjaga dan memelihara kelangsungan hidup dan kehormatan bangsa dengan segala pengorbanannya tanpa batas.
Pasal 3.
Cukup jelas.
Pasal 4.
Cukup jelas.
Pasal 5.
Memberikan pelayanan terbaik, yang dimaksudkan disini adalah memberikan pelayanan kepada pelayan masyarakat secara ikhlas dengan prosedur pelayanan yang cepat, sederhana, serta tidak bersikap masa bodoh atau bersikap apatis/mendiamkan adanya harapan masyarakat.
Tidak mengenal waktu istirahat selama 24 jam atau tidak mengenal hari libur, yang dimaksudkan disini adalah seorang anggota Polri yang sedang tidak bertugas tetap dianggap sebagai sosok Polisi yang selalu siap memberikan perlindungan, pengayoman dan pelayanan masyarakat, oleh karena itu kegiatan Polri yang harus diemban bagi setiap anggota Polri merupakan identitas kegiatan selama 24 jam secara terus menerus, sehingga merupakan perbuatan yang terhormat apabila kepadanya mengenyampingkan hak waktu istirahat atau hari libur untuk selalu mengutamakan panggilan tugas sebagaimana harapan masyarakat dan perintah dari atasan.
Pasal 6.
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Memegang teguh rahasia sesuatu, yang dimaksudkan disini adalah memegang teguh rahasia jabatan terhadap pihak tertentu yang tidak ada hubungannya dengan kepentingan dinas Kepolisian Negara Republik Indonesia.
Pasal 7.
Pasal ini mengatur batasan-batasan minimal atas larangan terhadap bentuk perilaku yang dapat dikategorikan sebagai penodaan terhadap pemuliaan profesi Polri.
Martabat wanita merupakan sesuatu yang wajib dijunjung tinggi sehingga setiap petugas Polri dalam penangan kasus yang berkaitan dengan wanita perlu diberi suatu rambu-rambu agar tidak menimbulkan persangkaan/penilaian yang merugikan kehormatan profesi, seperti contoh antara lain dalam melakukan pemeriksaan terhadap wanita sangat tidak etis apabila dilakukan hanya oleh seorang petugas apalagi petugas pria.

BAB II. ETIKA KELEMBAGAAN.
Pasal 8.
Cukup jelas.
Pasal 9.
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Menggambarkan hubungan/tingkatan kewenangan dan pertanggungjawaban antara seorang atasan dengan bawahannya secara timbal balik, sehingga apabila terjadi suatu penyimpangan perilaku maka kedua belah pihak mempertanggungjawabkan perbuatannya masing-masing atau secara bersama.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas
Ayat (5)
Cukup jelas.
Pasal 10.
Tatacara yang berlaku, yang dimaksudkan adalah suatu proses pengambilan keputusan yang ditempuh melalui musyawarah dengan menampung saran pendapat anggota sebagai bahan pengambilan keputusan.
Pasal 11.
Cukup jelas.
Pasal 12.
Cukup jelas.

BAB III. ETIKA KENEGARAAN.
Pasal 13.
Cukup jelas
Pasal 14.
Pasal ini menjelaskan bahwa anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia menginginkan untuk tidak terpolitisasi dan terintervensi oleh pihak manapun dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya.


Pasal 15.
Berpegang teguh pada konstitusi, yang dimaksud adalah semua tindakan Kepolisian yang diambil dalam upaya mencegah dan menanggulangi situasi yang membahayakan keselamatan bangsa dan Negara tetap berdasarkan kepada Undang-Undang Dasar 1945.
Pasal 16.
Cukup jelas.

BAB IV. PENEGAKAN KODE ETIK PROFESI
Pasal 17.
Setiap pelanggaran terhadap Kode Etik Profesi dikenakan sanksi moral yang disampaikan dalam bentuk putusan Sidang Komisi secara tertulis kepada terperiksa, dimana sanksi moral tersebut bisa berupa pernyataan putusan yang menyatakan tidak tebrukti atau pernyataan putusan yang menyatakan terperiksa tebrukti melakukan pelanggaran Kode Etik Profesi Polri.
Bentuk sanksi moral sebagaimana diatur dalam Pasal 17 Kode Etik Profesi Kepolisian Negara Republik Indonesia merupakan bentuk-bentuk sanksi moral yang penerapannya tidak secara kumulatif, namun sanksi moral tersebut terumus dari kadar sanksi yang teringan sampai dengan kadar sanksi terberat sesuai pelanggaran perilaku terperiksa yang dapat dibuktikan dalam Sidang Komisi.
Pernyataan penyesalan secara terbatas, yang dimaksudkan adalah pernyataan meminta maaf secara langsung baik lisan maupun tertulis oleh terperiksa kepada pihak ketiga yang dirugikan atas perilaku terperiksa.
Pernyataan penyesalan secara terbuka, yang dimaksudkan adalah penyataan meminta maaf secara tidak langsung oleh terperiksa kepada pihak ketiga yang dirugikan melalui media massa.
Kewajiban pelanggar untuk mengikuti pembinaan ulang profesi, yang dimaksudkan adalah anggota Polri yang telah terbukti melanggar ketentuan Kode Etik Profesi Polri sebanyak 2 (dua) kali atau lebih melalui putusan Sidang Komisi Kode Etik Polri, kepadanya diwajibkan untuk mengikuti penataran/pelatihan ulang pembinaan profesi di Lembaga Pendidikan Polri.
Pelanggar dinyatakan tidak layak lagi untuk menjalankan profesi Kepolisian, yang dimaksudkan adalah pelanggar dianggap tidak pantas mengemban profesi kepolisian sebagaimana diatur dalam rumusan tugas dan wewenang kepolisian pada pasal 14, 15 dan 16 Undang-Undang nomor 2 tahun 2002, sehingga Ketua Sidang Komisi dapat menyarankan kepada Kasatker setempat agar pelanggar iberikan sanksi administratif berupa Tour of duty, Tour of area, Pemberhentian dengan hormat, atau Pemberhentian tidak dengan hormat.
Pasal 18.
Pemeriksaan dalam Sidang Komisi adalah upaya pembuktian terhadap dugaan telah terjadinya pelanggara Kode Etik Profesi Polri yang didasari oleh proses putusan sidang yang cermat sehingga tidak menjadi sarana persaingan tidak sehat antar anggota. Sidang Komisi ini juga merupakan representasi masyarakat profesi dalam rangka pemuliaan profesi Kepolisian.
Pasal 19.
Pengaturan secara rinci tentang Tata Cara Sidang Komisi Kode Etik diatur tersendiri dengan Keputusan Kapolri.

BAB V. PENUTUP.
Pasal 20.
Cukup jelas.

Ditetapkan di : Jakarta
Pada tanggal : 1 Juli 2003
KEPALA KEPOLISIAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

Drs. DA'I BACHTIAR, SH
JENDERAL POLISI

HUKUM ASURANS

1. Definisi Asuransi

Menurut KUHP Pasal 246:
“Asuransi atau pertanggungan adalah suatu perjanjian, dengan mana seorang penanggung mengikatkan diri kepada seorang tertanggung, dengan menerima suatu premi, untuk memberikan penggantian kepadanya karena: suatu kerugian, kerusakan atau kehilangan keuntungan yang di harapkan, yang mungkin akan diderita karena sesuatu yang tak tertentu.”

2. Macam-macam Asuransi

2.1. Asuransi kerugian adalah asuransi yang memberikan ganti rugi kepada tertanggung yang menderita kerugian barang atau benda miliknya, kerugian mana terjadi karena bencana atau bahaya terhadap mana pertanggungan ini diadakan, baik kerugian itu berupa:
- Kehilangan nilai pakai atau
- Kekurangan nilainya atau
- Kehilangan keuntungan yang diharapkan oleh tertanggung.

Penanggung tidak harus membayarganti rugi kepadatertanggung kalau selama jangka waktu perjanjian obyek pertanggungan tidak mengalami bencana atau bahaya yang dipertanggungkan.

2.2. Asuransi jiwa adalah perjanjian tentang pembayaran uang dengan nikmat dari premi dan yang berhubungan dengan hidup atau matinya seseorang termasuk juga perjanjian asuransi kembali uang dengan pengertian catatan dengan perjanjian dimaksud tidak termasuik perjanjian asuransi kecelakaan (yang masuk dalam asuransi kerugian) berdasarkan pasal I a Bab I Staatblad 1941 – 101).

Dalam asuransi jiwa (yang mengandung SAVING) penanggung akan tetap mengembalikan jumlah uang yang diperjanjikan, kepada tertanggung
- Kalau tertanggung meninggalkan dalam massa berlaku perjanjian, atau
- Pada saat berakhirnyajangka waktu perjanjian keperluannya suka rela.

2.3. Asuransi Sosial
Ialah asuransi yang memberikan jaminan kepada masyarakat dan diselenggarakan oleh pemerintah, yaitu:
- Asuransi kecelakaan lalu lintas (jasa raharja).
- Asuransi TASPEN, ASTEK. ASKES, ASABRI.

Sifat asuransi sosial
- Dapat bersifat asuransi kerugian
- Dapat bersifat asuransi jiwa.

Hukum Asuransi
1. Asuransi Sosial
Asuransi sosial diperbolehkan dengan ketentuan-ketentuan sebagai berikut:
1.1. Asuransi sosial tidak termasuk akad mu’awadlah, tetapi merupakan syirkah ta’awuniyah.
1.2. Diselenggarakan oleh Pemerintah. Sehingga kalau ada ruginya ditanggung oleh Pemerintah, dan kalau ada untungnya dikembalikan untuk kepentingan masyarakat.

2. Asuransi kerugian, diperbolehkan dengan syarat apabila memenuhi ketentuan-ketentuan sebagai berikut :
2.1. Apabila asuransi kerugian tersebut merupakan persyaratan bagi obyek-obyek yang menjadi agunan bank.
2.2. Apabila asuransi kerugian tersebut tidak dapat dihindari, karena terkait oleh ketentuan-ketentuan Pemerintah, seperti asuransi untuk barang-barang yang di impor dan diekspor.

3. Asuransi jiwa hukumnya haram kecuali apabila memenuhi ketentuan sebagai berikut:
3.1. Apabila asuransi jiwa tersebut mengandung unsur saving (tabungan).
3.2. Pada waktu menyerahkan uang premi, pihak tertanggung beniat untuk menabung untungnya pada pihak penanggung (perusahaan asuransi).
3.3. Pihak penanggung bemiat menyimpan uang tabungan milik pihak tertanggung dengan cara-cara yang dibenarkan/dihalalkan oleh syariat agama Islam.

3.4. Apabila sebelum jatuh tempo yang telah disepakati bersama antara pihak tertanggung dan pihak menanggung seperti yang telah disebutkan dalam polis (surat perjanjian). ternyata pihak penanggung sangat memerlukan (keperluan yang bersifat darurat) uang tabungannva, maka pihak tertanggung dapat mengambil atau mcnarik kemballi sejumlah uang simpanannya dari pihak penanggung dan pihak penanggung berkewajiban menyerahkan sejumlah uang tersebut kepadanya.

3.5. Apabila pada suatu ketika pihak tertanggung terpaksa tidak dapat membayar uang premi, maka :
3.5.1. Uang premi tersebut menjadi hutang yang dapat diangsur oleh pihak tertanggung pada waktu-waktu pembayaran uang premi berikutnya.
3.5.2. Hubungan antara pihak tertanggung dan pihak penanggung dinyatakan tidak putus.
3.5.3. Uang tabungan milik pihak tertanggung tidak dinyatakan hangus oleh pihak penanggung.
3.5.4. Apabila sebelum jatuh tempo pihak tertanggung meninggal dunia, maka ahli warisnya berhak untuk mengambil sejumlah uang simpanannya, sedang pihak penanggung berkewajiban mengembalikan sejumlah uang tersebut.

4. Para musyawirin mendukung dan menyetujui berdirinya Asuransi secara Islam.
5. Sebelum tercapainya cita-cita terwajudnya Asuransi Islam hendaknya sistem perasuransian yang ada sekarang ini diperbaiki dengan menghilangkan unsur-unsur yang terlarang, sehingga tidak bertentangan dengan tuntunan ajaran Islam.

Selasa, 14 Juli 2009

LKBH TALITHA
PRO JUSTITIA

LKBH TALITHA merupakan lembaga yang konsen kepada memberikan konsultasi bantuan hukum bagi kaum dhuafa dan kaum yang marjinal untuk menciptakan kesadaran dan supremasi hukum khususnya masalah KDRT, selain itu LKBH TALITHA juga konsen kepada masalah-masalah hukum lainnya yang mana umum di alami oleh masyarakat baik itu memberikan konsultasi hukum, pendampingan dan pembelaan pada jalur Litigasi ( peradilan ) maupun Non Litigasi ( mediasi,dll.. ). LKBH TALITHA di dirikan pada tanggal 03 mei 2008 di kantor Notaris Hary Diarkoro,SH dengan Akta Notaris : No.1.03-05-2008. adapun tim yang di LKBH TALITHA merupakan para Advokad dan Konsultan Hukum yang berpengalaman dan terpercaya diantaranya :
1. H.Nurianto,SH,MH,MM
2. Robert Imam Santosa,SH
3. Drs.Yopie Mokalu,MM
4. Purwati,SH,MH
5. Hj. Agustien,S.TP
6. Riyan Fardian,SH,ST
7. Shanti Maria Ulfah,SH
8. Rado Fridsel Leonardus,SH
9. Indah Eliza,SH
10. Dan beberapa Advokad dan Konsultan Hukum ternama lainnya

Adapun alamat LKBH TALITHA : Komplek Pertokoan Megah No.B12, Jl. Diponegoro Denpasar-Bali, Indonesia
Tlp/Fax : (0361)264828

Masalah Anda Adalah Masalah Kami
"DIAM ADALAH PENGHIANAT"